Thursday, June 16, 2011

Slutty Wife Tia 8: The Major’s Party

Slutty Wife Tia 8: The Major’s Party

Pagi, di Salon Citra.

Ketika Tia dan Citra bersekolah di SMA yang sama dulu, berbeda dua angkatan, keduanya dikenal sebagai kembang di sekolah itu.  Kedua gadis yang orangtuanya saling kenal itu sama-sama jelita, namun tipe kecantikan mereka berbeda.  Citra selalu bergaya, glamor, dan menggoda; Tia polos, malu-malu, dan bersahaja.  Tak heran sejak dulu mereka berdua tidak pernah kehabisan perhatian dari laki-laki, mulai dari sesama siswa sampai orang-orang lebih tua.  Tia tidak pernah menanggapi karena dulu dia menganggap belum waktunya dia pacaran.  Sedangkan Citra beredar dari satu laki-laki ke laki-laki lain, menikmati kekaguman dan cinta mereka.  Kedua gadis cantik itu akhirnya menjadi saudara ipar, dipertalikan lewat pernikahan Tia dengan Bram adik Citra, namun keduanya juga jadi bersahabat, berbagi suka dan duka, saling membela dan menjaga. Pagi-pagi Citra sudah ditelepon Tia yang minta dirias dan didandani untuk suatu acara.  Tia awalnya tidak cerita acara apa, tapi di tengah pembicaraan ketika dirias Citra berhasil mengorek sedikit-sedikit apa yang mau dilakukan adik iparnya.

“Omong-omong, ada acara apa, kok tengah minggu begini?” Citra mengulik.

“Aku diminta bantu negosiasi tender proyek sama Mang Enjup,” kata Tia.

“Tapi kenapa persiapannya kayak mau ke resepsi?  Sampai pake kebaya segala…”

“Diminta Mang Enjup,” kata Tia sambil tersipu malu, “Mau ketemu orang penting…”

Citra tidak bertanya lagi, tapi dia merasakan sesuatu yang mencurigakan.  Dia tahu apa yang Mang Enjup pernah lakukan kepada Tia, dan dia tahu reputasi Mang Enjup, tapi dia tak menyangka Tia akan terjerumus sedemikian jauh. Citra tidak masalah kalau Tia mengubah diri demi Bram, tapi sepertinya perubahan Tia tidak cuma itu… Tapi untuk saat itu Citra memilih diam dulu. Dia meneruskan pekerjaannya. Tak lama kemudian Citra berkacak pinggang sambil memperhatikan hasil karya-nya, Tia yang sudah dirias lengkap dan tampak mempesona dalam kebaya modern. Tubuh Tia yang pada dasarnya indah terlihat makin gemulai dalam balutan kebaya dan bawahan kain batik yang pas badan itu. Tapi Citra sudah bisa menebak, dalam beberapa jam dandanan anggun itu akan rusak diacak-acak.  Entah oleh siapa.  Barangkali oleh “orang penting” itu. Mungkin Mang Enjup juga bakal ikutan. Kain batik yang membungkus pahanya bakal disingkap agar paha mulus Tia dapat dijamah. Kebaya berdada rendah yang membusungkan dada Tia itu tak bakal melindungi payudara Tia dari ciuman dan gigitan; begitu pula leher mulus Tia yang terlihat seksi tanpa tertutup rambutnya yang disanggul modern. Make-up yang dibubuhkan Citra dengan hati-hati itu bakal jadi awut-awutan karena keringat dan sperma, lipstik merah yang memperindah bibir Tia bakal terhapus ketika berkali-kali bergesekan dengan batang kejantanan.

Citra menceletuk, “Udah siap nih, pengantinnya siap naik ke pelaminan.”  Tia tertawa kecil.  Citra merasa sedikit miris.

“Di mana acaranya?” tanya Citra lagi.

Tia menyebut nama satu hotel yang terletak dekat pusat kota. Citra tersenyum kecut. Dia hafal benar nama hotel itu. Hotel berbintang yang dulu sering sekali Citra datangi dengan berbagai laki-laki.

“Nanti mau dijemput sama Mang Enjup dari rumah, makanya siap-siapnya dari sekarang,” kata Tia.

“Bram belum pulang ya?”

Tia menggelengkan kepala menjawab pertanyaan kakak iparnya.

“Kapan dia pulang?” Citra terus bertanya.

“Iih, Kak Citra kok tanya-tanya melulu,” seru Tia, “Biarin aja dia mau pulang kapan…”

Citra diam saja sesudah itu, agak prihatin dan khawatir tentang apa yang akan terjadi pada Tia.  Bukan seperti ini yang dia harapkan ketika beberapa waktu lalu dia memberi saran kepada Tia agar lebih mengikuti kemauan suaminya.  Sebandel-bandelnya Citra, dia masih sayang pada adik iparnya, dan tidak mau Tia terjerumus seperti dirinya. Ketika Tia kembali ke rumahnya sendiri untuk menunggu dijemput, Citra langsung menelepon Bram, ingin tahu sedang di mana adiknya itu. Teleponnya tidak dijawab. Tentu saja, karena Bram mematikan telepon genggamnya di atas pesawat yang sedang membawanya pulang lebih cepat daripada dijadwalkan.

*****

Tidak lama kemudian, Tia yang menunggu di rumahnya mendengar suara mobil berhenti di luar.  Mang Enjup datang menjemputnya.  Seperti biasa Mang Enjup ditemani dua anak buahnya yaitu Danang dan Reja.  Reja menyetir sementara Danang memang kerjaannya mengintil pamannya ke mana-mana.

“Haduuh… Rupanya habis ada bidadari turun ke dunia?  Mang sampe ga percaya.  Geulis kieu,” puji Mang Enjup.

Dia memandangi sekujur tubuh putri pemilik perusahaan tempat kerjanya itu penuh nafsu. Kalau saja hari itu bukan hari pelaksanaan rencananya, Mang Enjup ingin sekali merasai lagi tubuh indah Tia. Dia teringat-ingat terus betapa tubuh tuanya bertekuk lutut dua kali akibat kemolekan Tia kemarin, ketika Tia mendatanginya di kantor. Danang dan Reja juga terbit gairahnya melihat Tia, mereka belum lupa pengalaman mereka beberapa kali mencicipi tubuh Tia.

“Ayoh kita langsung berangkat.  Neng Tia sudah makan?” tanya Mang Enjup.  Tia mengangguk.  “Kan tadi Mang bilang suruh siap lahir batin,” kata Tia, merujuk percakapan mereka tadi pagi.  Saat itu sudah lepas tengah hari.  Mobil sedan Mang Enjup segera meluncur meninggalkan rumah Tia, menuju pusat kota.

Semua itu tak lepas dari pengamatan Citra yang sengaja duduk-duduk di luar, mengawasi rumah Tia.  Dengan gemas Citra kembali berusaha menelepon Bram.  Belum juga berhasil.

*****

Sepanjang perjalanan Mang Enjup berbicara sesuatu ke Tia. Tia tak memperhatikan. Dia sedang menikmati bagaimana ketiga laki-laki di dalam mobil itu mengagumi dirinya. Tia duduk di belakang bersama Mang Enjup sementara Reja di depan mengemudi sedangkan Danang di kursi penumpang depan. Danang berkali-kali menengok ke belakang tanpa alasan jelas, hanya untuk melihat wajahnya.  Sementara Reja terus memperhatikan jalan, tapi Tia beberapa kali melihat lewat kaca spion dalam, mata Reja tajam mengamatinya. Dan Mang Enjup sendiri mengajak berbicara Tia sambil tangannya menggenggam tangan Tia.  Genggaman itu kadang dilepas menjadi belaian ke paha Tia yang masih terbungkus kain.

Kak Citra, beginikah rasanya jadi dirimu?

No comments:

Post a Comment