Wednesday, June 15, 2011

Slutty Wife Tia 7: Kenikmatan yang Tertunda

Slutty Wife Tia 7: Kenikmatan yang Tertunda

Pukul tujuh, di suatu kamar hotel, di satu kota

Bram duduk-duduk sendirian di tempat tidur hotelnya yang lebar, melepas lelah sesudah dua hari nonstop mengurus persiapan pembukaan cabang bersama Enrico, si pengusaha daerah.  Selama dua hari dia menyurvei lokasi; bertemu staf Enrico yang memberi presentasi rencana bisnis, peluang pasar, dan kemungkinan pesaing; dan tentunya bertemu para penguasa setempat—kepala daerah, kepala kantor-kantor dinas terkait, anggota legislatif, aparat, dan tokoh masyarakat, yang semuanya harus dilobi.  Sebelumnya Bram dan Enrico sudah menyepakati: Bram mengurus pembicaraan formal sementara Enrico menyiapkan negosiasi nonformalnya.  Itu artinya Enrico akan menanggung segala insentif lain yang  diperlukan demi kelancaran pembukaan usaha.  Baik itu berupa uang pelicin, fasilitas, maupun bentuk kenikmatan lain. Termasuk yang sekarang disajikan. Pintu kamar hotel diketuk.  Bram bangkit dan membukakan pintu.

“Permisi. Selamat malam Pak.  Tadi saya dipesan ke kamar ini buat massage~?”

Di balik pintu Bram mendapati seorang gadis, paling-paling umurnya 20-an, berdiri dan tersenyum. Gadis itu membawa tas kecil. Nada bicaranya ramah dan cenderung genit, tapi terkesan tak dibuat-buat.

“Oh, iya.  Silakan masuk,” kata Bram sambil memandangi gadis tukang pijat itu.  Gadis itu memakai kemeja lengan pendek putih bercorak dengan aksen renda di dada, dan rok hitam pendek.  Rambut hitamnya yang diluruskan rebonding tergerai sampai ke punggung.
“Mau langsung, Pak?” tanya gadis itu.  “Oh iya, maaf, dengan bapak siapa?  Saya Difa.”

“Bram,” kata Bram sambil menjabat tangan gadis itu untuk berkenalan.  Difa bertubuh pendek—hanya setinggi bahu Bram.  Bram terus mengamati gadis tukang pijat itu.  Difa terlihat berusaha tampil ramah, bibir merahnya selalu tersenyum.  Mata sipit dan pipi tembemnya terlihat menggemaskan.

Bram tahu, di kamar-kamar lain hotel yang sama sedang terjadi adegan serupa.  Enrico mengundang beberapa orang yang perlu dilobi untuk menikmati “hiburan” yang disediakan, dan Bram juga kebagian. Tapi sebenarnya Bram sedang tidak berminat. Dia cukup lelah setelah mengikuti Enrico ke sana-ke mari, jadi dia bilang saja kepada Enrico, minta dipanggilkan tukang pijat hotel. Dan yang datang adalah gadis ini.  Difa.

Difa membawa seprei yang dilipat, yang dia tebarkan di ranjang kamar hotel setelah minta izin Bram.  Dia lalu menanyakan apakah Bram mau langsung dipijat. Bram mengangguk.

“Iya, sekarang aja deh,” kata Bram.

“Kalau begitu, maaf Pak, tolong dibuka bajunya,” kata Difa dengan nada malu-malu.

Di balik sikap yang kelewat sopan itu Bram menangkap rasa gentar—apa gadis ini kurang pengalaman? Ataukah hanya pura-pura saja untuk memberi kesan “polos”? Bram cukup banyak bergaul dengan dunia hiburan malam sehingga dia lumayan tahu bagaimana para perempuan penghibur bersikap.  Kemudian Bram memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan tulus tidaknya Difa; toh gadis itu datang untuk memijat… kalau nanti berlanjut ke yang lain-lain, itu urusan nanti.  Bram pun membuka baju dan celana, tinggal menyisakan celana dalam, dan berbaring telungkup di atas tempat tidur yang sudah dialasi seprei.  Difa mulai dengan memijat telapak kaki Bram.  Tak lama kemudian tangannya sudah pindah ke betis Bram, mengurut sekujurnya, sampai ke belakang lutut, terus ke paha.

“Tangan kamu enak juga,” Bram berkomentar, “Hangat.”

“Iya, banyak yang bilang begitu Pak,” kata Difa.  “Anu, pijatan saya sudah cukup kan Pak?  Perlu lebih keras?”

“Nggak, segini sudah cukup.”

Difa meneruskan memijat, kali ini makin ke atas mendekati selangkangan Bram.  Bram merasakan kejantanannya bereaksi ketika sentuhan halus Difa mengelus bagian dalam pangkal pahanya.

Difa berhenti dan bertanya.  “Pak, mau pake krim?”

“Iya boleh,” kata Bram.

“Maaf kalau gitu celananya dibuka saja, biar nggak kotor,” saran Difa.

Bram sudah tahu itu kode apa. Tanpa menjawab, dia melepas celana dalamnya lalu kembali telungkup. Kejantanannya sudah setengah tegak.  Difa melumurkan krim pijat ke tangan, lalu mulai lagi dari bawah, dari betis Bram.

“Hihihi, Pak, bakal cepet habis nih krimnya,” celetuk Difa, “habisnya rambutnya banyak di sini…”

“O gitu?” jawab Bram.

Yang Difa maksud itu pasti betisnya. Difa melanjutkan pijatannya, sekarang kembali ke paha. Lagi-lagi Bram merasa terangsang dengan sentuhan Difa, apalagi setelah tangannya licin dengan krim, sensasinya makin lancar terasa.

“Maaf ya Pak saya pijat pantatnya,” kata Difa, yang kemudian mencengkeram dan meremas-remas dua belahan pantat Bram.

“Ehmm…” Bram enggumam.

“Kenapa Pak?” Difa berhenti karena gumaman Bram itu.

“Nggak apa-apa… terusin aja.  Enak kok,” kata Bram.  Difa tanpa sungkan kembali menggarap pantat Bram, terus ke selangkangan.

“Udah lama mijet?” tanya Bram.

“Lumayan Pak, udah setahun,” jawab Difa.

Bram berusaha mencairkan suasana dengan ngobrol dengan Difa. Gadis itu baru 22 tahun, warga setempat—dan jadi tulang punggung keluarganya karena dia anak tertua. Keluarganya sendiri tidak tahu pasti apa pekerjaannya, hanya tahu dia “kerja di hotel”. Sambil ngobrol, Difa terus memijat ke atas, meninggalkan pantat Bram ke punggung, lalu ke bahu.

Bram menengok ke belakang, berusaha melihat Difa. Dirasakannya rambut panjang Difa menyentuh punggungnya.

“Ada apa, Pak?” Difa memperhatikan Bram yang menoleh.

“Nggak apa-apa,” tukas Bram, kemudian tiba-tiba kebiasaannya ketika berbicara dengan perempuan penghibur muncul.  “Pengen ngelihatin yang mijet aja…”

“Ah Bapak bisa aja,” kata Difa tersipu, tersenyum malu.  “Balik badan Pak.”

Bram berbalik badan. Kali ini dia tak lagi bisa menutupi kenyataan bahwa ada bagian tubuhnya yang bereaksi terhadap kehadiran dan sentuhan Difa. Tapi Difa tak mengacuhkan alat kelamin Bram yang kini tampak di hadapannya, dan kembali lagi memijat dan menekuk-nekuk kaki Bram. Bram terus berusaha mengajak bicara Difa. Difa ternyata masih lajang; pernah punya pacar beberapa tahun lalu yang lantas kabur untuk menikah dengan gadis lain.

“Sebenarnya sih saya pengen cepet nikah Pak, cuma gimana ya, kerja saya seperti ini, mana ada yang mau sama saya… Bapak sudah nikah?” ujar Difa.

“Udah…” kata Bram.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Difa sudah tuntas menggarap sekujur tubuh Bram. Mata Bram tak lepas-lepas memandangi si pemijat. Wajah Difa mengingatkannya akan seorang artis, Anya. Hanya saja Difa pendek, tak seperti Anya yang jangkung.

“Sudah selesai Pak…” kata Difa lirih.  “Anu… ada lagi yang bisa saya bantu?”

Bram sudah hafal apa yang biasanya terjadi sesudah sesi pijat semacam itu.  Terlebih lagi dia keburu terangsang oleh sentuhan-sentuhan Difa.

“Main aja yuk,” ajak Bram sambil tersenyum dan menggenggam tangan Difa.

Jawaban Difa ternyata tidak nyambung dengan harapannya.

“Jangan ya Pak, saya… belum pernah…”

Bram cuma tersenyum, dan akal sehatnya sedang kalah dengan nafsunya yang mulai menggunung, jadi bukannya dia berhenti, dia malah terus berusaha.  Dia mengelus sekujur lengan Difa.

“Ayo dong… Nggak apa-apa kok…” rayu Bram.

Difa berusaha mengelak sambil menawarkan servis lain.

“Saya kocokin aja ya Pak?”  Terlihat betul bahwa gadis pemijat itu tidak ingin menyinggung kliennya, walau Bram mulai kurang ajar tapi dia masih bersikap sopan.

“Hmm… iya deh,” Bram memutuskan untuk mundur dulu; langkah strategis.

Dalam hatinya dia tak percaya dengan kata-kata Difa yang mengaku “belum pernah” tadi, dan dia pun sibuk memikirkan cara membongkar pertahanan gadis itu.  Difa kembali melumurkan krim ke tangannya dan berkata,

“Maaf ya Pak,” sebelum mulai menyentuh penis Bram.

Entah dia masih perawan atau sudah tidak, yang jelas tangannya sudah ahli.  Satu tangannya menggenggam batang kemaluan Bram, tangan lainnya mengelus kantong pelir Bram dan sesekali ke bawahnya, menuju lubang dubur Bram.  Bram menggumam keenakan.  Difa terus mengocok batang Bram, naik dan turun, kadang cepat kadang lambat.

“Sakit nggak, Pak?” tanya Difa.

“Ehmmmm…” Bram menggumam lagi, “Enggak kok, enak…”

Difa terus membelai dan merangsang, tangan kanannya yang licin bergerak-gerak di sekujur kejantanan Bram, tangan kirinya memijat-mijat di bawah buah pelir.  Bram bisa merasakan orgasme sedang menunggu terjadi di bawah perutnya.

“Ouhhh,” keluh Bram, mulai tak kuat menahan.  Tapi dia tidak mau buru-buru selesai. Tangannya bergerak merangkul Difa yang berposisi duduk memunggungi di sebelah tubuhnya.

“Enak banget, Difa,” bisik Bram sambil menegakkan badan atas lalu menyenderkan kepala ke bahu Difa.

Orgasme yang tadi tinggal sebentar lagi itu sukses diredam. Difa diam.

“Kamu wangi…” kembali Bram berbisik sambil menghirup aroma tubuh Difa.

Gadis itu diam saja. Bram jadi tambah berani lalu mencium leher si gadis pemijat. Selanjutnya Bram mengulum telinga Difa.

“Ehmmm…” desah Difa.  Bram nyengir, menyadari titik sensitif gadis itu persis sama dengannya, di telinga.

“Ahh… Pak…” Difa seperti memprotes tapi tak berdaya, kocokan tangannya melemah ketika Bram terus menggoda titik lemahnya.  Dia pun tak hirau ketika tangan Bram mulai berusaha melepas kancing kemejanya satu demi satu. Dari bawah. Posisi badan atas Bram kini sudah tegak merangkul Difa dari belakang, dua, tiga, empat kancing kemeja Difa lepas… dan yang terakhir pun akhirnya lepas.  Bram menyelipkan tangan ke balik BH yang dipakai Difa dan terjamahlah payudara gadis itu yang terasa kencang.

“Paak…” Difa memprotes lagi, berhenti mengocok dan melepas kejantanan Bram, tapi Bram sudah keburu nafsu.

Bram merebahkan Difa di tempat tidur dan langsung memposisikan tubuh atasnya di atas Difa, sambil menyibak kemeja Difa yang sudah tak terkancing. Tangan Bram meremas payudara Difa. Difa mendesah, menatap muka Bram. Bram membenamkan muka di dada Difa, menciumi belahan dada dan bagian atas payudara gadis itu. Dirasakannya Difa menggeliat dan nafasnya memburu. Tangan Bram bergerilya ke bawah, menyibak rok pendek Difa, mencari celana dalam. Ketemu. Jemari Bram mengelus-elus bagian celana dalam Difa yang menutupi vagina. Sambil ciuman demi ciuman terus mendarat di leher, pundak, dan telinga Difa. Terdengar gadis itu mendesah. Bram berhasil membuat Difa terangsang. Bram berhenti sebentar, menjauh dari tubuh Difa.  Dia memandangi ekspresi gadis itu; seolah pasrah.  Andai wajah Difa tak berbedak terlalu tebal, mungkin Bram bisa melihat wajah itu merona merah karena malu. Bram lalu melepas kaitan di depan BH Difa, dan menyingkirkan penutup dada gadis itu. Sepasang payudara Difa yang kencang itu tak lagi terlindungi. Bram dengan cepat menggoda keduanya, menyentuh, mencium, mengulum. Difa mendesah tertahan.  Roknya sudah tersibak juga akibat aksi tangan Bram yang sambil terus mengelus-elus kemaluannya dari luar celana dalam. Bram kembali menindih tubuh Difa yang nyaris telanjang itu, lalu memelorotkan celana dalam Difa.  Kejantanan Bram sudah tegang dan dia sudah tak tahan ingin menyetubuhi gadis itu.

Tapi ketika dia menyelipkan jarinya langsung ke belahan kewanitaan Difa—Sempit. Dan…Terasa sesuatu menghalanginya. Bram melihat setitik air mata mengalir dari sudut mata Difa. Gadis pemijat itu memang masih perawan. Ekspresinya mirip sekali dengan Tia waktu dulu—Bram berhenti.  Dia kembali teringat Tia. Difa merasakan beban tubuh Bram bergeser dari atas tubuhnya.

“Maaf…” bisik Bram.  “Kamu emang beneran belum pernah, ya…”

“Pak…” Difa membuka matanya yang masih berkaca-kaca, tak mengerti perubahan reaksi Bram.

“Ah, nggak, nggak apa-apa, Difa,” Bram berkata itu sambil berubah posisi jadi berbaring di samping Difa.  “Aku… kepikiran istriku.”

Difa terdiam sebentar lalu berbicara sambil memejamkan mata.  “Nggak apa-apa Pak, saya… sudah dibayar kok…”

“Apa kamu nggak bakal nyesal nantinya?” kata Bram sambil memandangi langit-langit, melihat bayangan wajah Tia di sana.

Difa diam saja.

“Jangan dikasih ke aku, Difa,” kata Bram lagi.  “Aku nggak tega. …Yah, mungkin aku yang dulu gak bakal keberatan, tapi sekarang… aku udah nggak pengen begitu lagi.”

“Jadi… gimana ini Pak?”  Difa bingung.

“Sudah, nggak apa-apa.  Yang terjadi atau nggak terjadi di dalam sini, orang lain nggak usah tahu.  Kamu pakai lagi lah bajumu.”

Difa bangkit dan kembali memakai semua pakaiannya.

“Kamu tunggu di sini, aku mau mandi dulu sebentar terus kita bicara lagi,” kata Bram.

Bram langsung masuk ke kamar mandi, menyalakan shower dan membasuh seluruh tubuhnya.  Semburan air shower meredakan lagi nafsunya dan mendinginkan kepalanya. Tak lama kemudian, Bram keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang menutupi seputar pinggang ke bawah.  Difa masih duduk di tempat tidur, tanpa bicara.

“Bapak… nggak suka sama saya?” kata Difa lirih ketika Bram duduk di sebelahnya.  Bram tersenyum sambil menaruh tangannya di atas tangan Difa.

“Bukan…” kata Bram, “tapi ada yang lebih berhak nyentuh kamu nanti.  Siapapun dia, aku nggak mau ngambil haknya.  Aku udah punya istriku, Difa.”

Difa menengok agak tak percaya.

“Tapi saya udah dibayar…” katanya lagi.

“Nggak usah ungkit-ungkit itu.  Kamu kan datang ke sini mau mijat aku, dan tadi kamu udah mijat. Pijatanmu enak. Kuanggap kerjaan kamu sudah selesai.”  Bram beranjak ke meja, mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang.  “Ini, lumayan buat uang jajan kamu.”

“Aduh, Pak… apa nggak terlalu banyak ini?  Saya kan cuma mijet…” kata Difa sungkan.

“Terima saja,” kata Bram.  Difa pun mengantongi tips dari Bram itu.

“Ka-kalau gitu… saya pamit pergi dulu Pak…” kata Difa.

“Eh tunggu dulu,” kata Bram.  “Minta nomor telepon kamu.”

Difa menyebutkan nomor telepon, yang langsung dimasukkan Bram ke dalam HP-nya.

“Aku mau buka usaha di sini,” kata Bram.  “Mungkin aku bakal perlu karyawati.  Barangkali kamu mau ganti pekerjaan…”

“Makasih, Pak… makasih banyak,” kata Difa.

Bram mengantar gadis pemijat itu ke pintu kamar dan membukakan pintu. Dilihatnya gadis itu tersenyum lega. Setelah Difa pergi, Bram kembali memikirkan Tia. Bram merasa sudah berbuat yang benar dengan tidak mengambil kehormatan Difa tadi. Tidak, dia tidak perlu perempuan lain lagi. Dia hanya perlu Tia. Dan urusan di sini sebenarnya sudah selesai. Bram meraih telepon kamar hotel dan minta disambungkan dengan biro perjalanan.  Dia ingin tahu apa kepulangannya bisa dipercepat.

*****

Pada hari yang sama ketika Bram bertemu Difa, Tia diminta Mang Enjup datang ke kantor untuk membicarakan rencana negosiasi proyek dengan Walikota.  Tia pergi sendirian dan langsung menuju kantor Mang Enjup.  Febby sekretaris Mang Enjup yang biasanya duduk di satu meja di luar kantor tidak ada.

“Non Tia sudah ditunggu,” terdengar kata-kata seorang laki-laki.

Di luar kantor Mang Enjup juga ada Danang yang, seperti biasa, tidak jelas apa kerjaannya di sana.  Dialah yang memberitahu bahwa Tia sudah ditunggu.  Melihat Tia datang, Danang nyengir dan tersenyum mesum ke arah Tia. Yang membuat Danang rada kaget, Tia membalas dengan senyum dan kerling genit. Danang memperhatikan penampilan Tia yang tampak menarik dalam kemeja lengan panjang abu-abu dan rok pendek hitam.  Kemejanya ketat. Danang berani sumpah, dia yakin Tia tak sedang memakai bra karena dia melihat puting Tia mencuat di balik bahan kaos itu…

“Aku masuk ya…” kata Tia sambil menoleh ke Danang dan melangkah menuju pintu.

Danang lantas merasakan semua darah ke tubuhnya mengalir menuju bawah perut.  Tak tahan dia dengan keseksian Tia yang menggodanya.

*****

“Punten…” Tia mengucap salam ketika masuk.  Begitu dia masuk, dia melihat pemandangan tak biasa.

Ada dua perempuan yang sedang berada  di kanan kiri Mang Enjup. Mang Enjup sendiri berada dalam keadaan berantakan, kemejanya terbuka sehingga dadanya yang sudah keriput terlihat, mulutnya terengah-engah, keringat menitik di wajahnya. Tia mengenali salah seorang dari dua perempuan itu sebagai Febby, sekretaris Mang Enjup, seorang perempuan berkacamata, berhidung mancung, berambut megar sebahu. Tapi Febby bukan sedang mengenakan pakaian kantor seperti biasa, melainkan tank top ketat berbelahan rendah dan rok mini. Make-upnya juga lebih tebal dari biasa.

“Selamat pagi, Mbak Tia,” sapa Febby.

Perempuan satunya lagi Tia tidak kenal. Dan dia jelas sedang tidak memakai pakaian orang kantoran. Nyaris tidak berpakaian, malah. Cuma celana dalam berenda dan bra pink. Perempuan itu nyengir konyol ketika melihat ada yang datang, dan dia terlihat membungkuk di samping Mang Enjup, tangannya seperti memegang sesuatu di pangkuan Mang Enjup.  Rambutnya dicat merah, ukuran dadanya tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang ramping.  Riasan menor menutupi wajahnya yang terlihat lebih tua daripada Tia dan Febby: bibir merah, bulu mata palsu, alis ditato.

“Ka dieu, Neng,” panggil Mang Enjup dengan suara lirih, seperti orang kecapekan.

Sebenarnya adegan yang sedang berlangsung di sana sangat tidak wajar, karena sedang ada dua perempuan berpakaian seksi merubung Mang Enjup.  Tia sendiri heran dan dia melangkah maju pelan-pelan, tapi begitu tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Mang Enjup yang tetap tajam, dia merasa tidak perlu ke mana-mana.

Ketika makin dekat, Tia jadi bisa melihat apa yang sedang dilakukan Febby dan si rambut merah. Celana Mang Enjup terbuka, kemaluannya tegak, dan kedua perempuan itu sedang membelai-belainya.  Tapi si rambut merah sesekali menjepit bagian pangkal batang dan menekan daerah di bawah buah pelir Mang Enjup. Rupanya itu semacam cara untuk mencegah ejakulasi.  Agaknya Mang Enjup sedang menjalani “terapi” untuk mengatasi masalah ejakulasi dini-nya. Tia terpaku, tak tahu mesti berbuat apa. Dia memang dipanggil oleh Mang Enjup, tapi apa maunya Mang Enjup? Febby berdiri dan membuka satu laptop yang ada di meja, lalu duduk di atas meja sambil menyilangkan kaki.

“Duduk, Mbak Tia,” kata Febby sambil menunjuk kursi di depan meja Mang Enjup.

Mang Enjup terengah-engah, sepertinya keenakan penisnya dikocok, kadang meringis karena ejakulasinya dibatalkan pencetan jari si rambut merah.  Tia duduk dan pandangannya mengikuti tangan Febby yang menunjuk layar laptop. Di situ ditayangkan beberapa tabel dan presentasi terkait proyek yang sedang diperebutkan perusahaan mereka dengan perusahaan-perusahaan milik dua orang yang Tia temui di pesta Walikota. Febby menjelaskan situasi terbaru dan rincian tender proyek kepada Tia. Wajah Tia berkerut selagi mengikuti penjelasan Febby, tanpa menghiraukan Mang Enjup yang asyik sendiri. Febby selesai memberi penjelasan dan Tia merasa cukup mengerti tentang semua hitungan dan rencana yang dijabarkannya.  Mang Enjup ikut bicara,

“Tapi, ada yang lebih penting lagi, Tia.”  Mang Enjup lalu menyentuh lengan si rambut merah. “Jana…” kata Mang Enjup, menyebut nama si rambut merah.

“Kenalan dulu, Mbak Tia… saya Jana,” katanya.  Jana langsung mendekati Tia, lalu meminta Tia berdiri.

Jana mengamati sekujur tubuh Tia, berjalan mengelilingi Tia sambil pandangannya naik turun.

“Mantap…” kata Jana sambil tiba-tiba meremas pantat Tia.

“Aih!!?” Tia kaget.

“Bahenol juga ya… pantesan cuma kamu yang dimau’in,” kata Jana.  Tia tidak mengerti maksudnya.

“Biasanya saya yang ditugasin untuk bantu lobby pejabat,” kata Jana lagi, “atau anak buah saya.  Tapi buat yang satu ini emang susah dari dulu.  Dia pilih-pilih banget. Kalau sembarang orang, pasti ditolak. Tapi kalau Mbak Tia pasti bisa deh.”

“Ah… Maksudnya?”

“Pak Walikota maunya si Neng,” kata Mang Enjup.  “Biasanya Mang minta bantuan Jana atau teman-temannya, tapi ternyata ga ada yang cocok ama Pak Walikota. Emang dia seleranya lain, ga mau sama yang biasa, maunya sama yang luar biasa kayak Neng Tia.”

“Tapi… kenapa harus saya?  Kan mestinya sama aja…” tanya Tia.

Jana tertawa. Febby menahan ketawa. Mang Enjup bicara.

“Tia, dengerin Mang yah.  Tia sudah lihat yang ditunjukin Febby tadi kan.  Kamu tahu seberapa bernilai proyek itu buat perusahaan kita ini?  Gede banget, dan semua berharap kita bakal dapat.  Barangkali kamu belum tahu, untuk proyek-proyek sebesar itu biasanya kita sebagai pengusaha mesti ngejalin hubungan baik sama orang-orang yang pegang kuasa—pejabat dan semacamnya itu lah.  Selama ini kerja Mang di perusahaan ini ya seperti itu.  Nah, buat proyek ini, kita perlu persetujuan dari Pak Walikota.  Makanya kita perlu Neng Tia.  Soalnya, Pak Walikota sudah sering ngasih petunjuk, salah satu yang paling dia harapin itu adalah bisa ada hubungan baik dengan Neng Tia.”

Sesudah mendengar penjelasan Mang Enjup yang dibungkus-bungkus itu Tia masih tetap belum mengerti. Ganti Jana yang bicara.

“Biasanya, Mbak Tia, saya ngurus bagian entertain dalam lobi proyek,” kata Jana.  “Yah kita udah tahu lah, pejabat pasti minta bagian.  Bisa uang, fasilitas, hadiah.  Udah biasa juga kalau kita nyediain hiburan juga.  Pejabat itu kebanyakan laki-laki kan.  Nah yang namanya laki-laki pastinya suka yang cantik-cantik, jadi saya yang biasa nyediain. Cuma… Pak Walikota ini agak susah. Dari dulu emang gitu dia. Bukannya dia sok alim atau ga suka yang cantik-cantik sih. Tapi emang seleranya maunya yang susah. Saya udah coba nyodorin yang tua, yang muda, yang masih perawan, tapi semuanya ditolak sama dia. Pusing kan kita mikirnya.”

“Nah,” sambung Mang Enjup, “Sebelum pesta kemarin itu Mang kan sering ketemu Pak Walikota buat ngomongin ini proyek. Pak Walikota kalau ketemu Mang seriiing banget nanyain, mana Neng Tia, kok nggak dibawa. Mang tahu sih Pak Walikota udah perhatiin kamu dari dulu. Mang juga udah jelasin status kamu. Tapi kelihatannya sih Pak Walikota maunya cuma sama kamu.”

Tahu-tahu, Jana sudah merangkul dan menggerayangi Tia.  “Mbak Tia cakep banget deh,” ujar Jana sambil satu tangannya meremas pantat Tia lagi.

“Pantes aja Pak Walikota cuma maunya sama Mbak Tia.  Cakep, anggun lagi.  Bener-bener high class.  Saya aja jadi minder ngelihat Mbak.”

Andai pikiran Tia masih normal, mungkin dia akan berusaha mengelak begitu tahu arah kata-kata Mang Enjup.  Tapi tidak… Tia yang sekarang bukan lagi Tia yang polos, malu-malu, dan konservatif.

Sejak Citra mengubah penampilannya, Mang Enjup dan Dr Lorencia mengacak-acak pandangannya, dan berbagai pengalaman berpetualang dilaluinya, kepribadian Tia berubah. Dia tak lagi merasa perlu membatasi dirinya dengan hanya menyerahkan tubuhnya kepada suaminya yang sah.  Dia sudah tahu bahwa kenikmatan badan bisa didapat dari mana saja, dan buat dia itu tak salah. Dia tetap seorang istri, tapi dia tak ubahnya seorang pelacur juga. Dia tak lagi sungkan berhubungan seks dengan semua orang. Jana yang berposisi di belakang Tia kini menyandarkan mukanya ke bahu Tia, menghirup wangi rambut Tia dan meremas payudara Tia. Tia mendesah sebagai reaksi gerakan Jana itu. Febby tetap duduk di atas meja, sementara Mang Enjup juga tetap duduk di kursinya tanpa merapikan pakaiannya.

“Makanya… Tolong yah, Neng?” pinta Mang Enjup.

Tia tak bisa konsentrasi karena digerayangi terus oleh Jana.

Mang Enjup menyambung, “Peran seperti ini cuma Neng yang bisa.”

Tia berpikir sebentar, wajahnya berkerut, tapi dengan cepat dia mencapai kesimpulan.

“Iya, Mang.  Tia siap.”

Mang Enjup tersenyum lebar. Jana bertepuk tangan.

Tia tersenyum nakal.  “Omong-omong, Mang lagi ngapain sih, kok telanjang?” tanyanya.

Mang Enjup tertawa mendengar Tia bicara seperti itu, tak sungkan dan tak malu-malu.

“Ini Mang lagi terapi, hehehe,” kata Mang Enjup.  “Dibantuin Jana…”

“Terapi kejantanan, …hihihi,” Jana menimpali.  “Mbak Tia mau ikutan?”

“Boleh juga,” tanpa diduga Tia setuju, “Hitung-hitung latihan… Ih si Mang udah tegang gitu…”

Tia mendekat ke arah Mang Enjup.  Melihat itu, Febby dan Jana juga bergerak, sehingga Mang Enjup kini dikelilingi tiga perempuan cantik. Seperti raja dengan selir-selirnya saja.Tidak seperti sebelumnya, kali ini Tia dengan sadar siap menyerahkan diri dan menggoda Mang Enjup, laki-laki tua pembantu orangtuanya yang sudah dikenalnya dengan baik sejak kecil itu.  Sebenarnya sejak ditinggal Bram, Tia agak frustrasi karena kebutuhan seksnya tidak ada yang melayani. Makanya ketika dia digarap Dr Loren dan Danang-Reja beberapa hari lalu, sebenarnya dia melayani dengan suka rela, asalkan bisa mengecap kenikmatan.

“Coba kita lihat hasil terapi tadi…” kata Jana, lalu tiba-tiba dia mendekati Tia dan kembali menggerayangi.

Febby terpikir untuk meramaikan suasana, jadi dia menuju laptopnya dan mulai memutar musik dance. Dia kemudian mendekati Tia dan Jana sambil bergoyang ikut irama. Jana juga ikut-ikutan, sambil menggerak-gerakkan tubuh Tia, mengajak Tia ikut dance. Tia terbawa juga, mulai meliuk-liukkan tubuhnya yang indah.

Mang Enjup jadi ngiler melihat tiga perempuan cantik bergoyang aduhai di depannya.  Febby dan Jana bergerak luwes seperti sudah biasa ajojing. Jana apalagi, dia yang sejatinya bekerja jadi agen cewek panggilan dan penari tanggal baju setelah sebelumnya malang melintang di dua profesi itu, sudah kenyang pengalaman memikat hati dan tubuh laki-laki lewat goyang tubuhnya.  Tia saja yang agak kaku.

“Mbak Tia cantik… Kita buka yah?” Jana bergoyang sambul memeluk Tia dari belakang, dan mengatakan itu sambil meraba tubuh Tia.

Jana melepas satu-satu kancing kemeja Tia.

“Uhh…” Mang Enjup melenguh ketika melihat apa yang tampak di balik kemeja abu-abu Tia.

Tadi waktu di luar, Danang mengira Tia tidak memakai bra karena bisa melihat puting Tia mencuat di balik kemeja.  Ternyata itu benar, dan sekarang Mang Enjup melihat sepasang buah dada sintal Tia.

“Wuaaah… berani banget ya Mbak Tia…” puji Jana sambil membelai-belai payudara Tia.  “Nggak nyangka dari tadi sudah nggak pake beha!”  Memang Tia dari tadi tak memakai bra.  Dari rumah.  Dan sepanjang perjalanan, dia terangsang karena menikmati pandangan orang-orang yang tergiur kecantikannya.  Jana membantu Tia melepas kemejanya sehingga Tia pun akhirnya berdiri topless di depan Mang Enjup yang mulai kelabakan.

“Aduh… duh meni geulis Neng Tia…” keluh Mang Enjup.

Tia melangkah maju mengikuti hentakan irama musik dari laptop Febby ke hadapan Mang Enjup. Mang Enjup tetap duduk, kemaluannya yang dari tadi ereksi mengacung ke depan. Tia menjulurkan tangan dan menadah bagian bawah batang kejantanan Mang Enjup yang tak seberapa besar.  Satu tangannya lagi bertumpu di paha Mang Enjup selagi dia membungkukkan badan, membuat kedua susunya bergelantungan.  Tia menengadahkan muka, mulutnya terbuka, matanya liar dan lapar. Ketika bekerja di rumah orangtua Tia dulu, Mang Enjup mengingat Tia sebagai gadis kecil yang manis dan polos. Kesan manis dan polos itu kini sudah hilang, tertutup ekspresi seksi dan binal. Wajah gadis kecil yang diingat Mang Enjup itu kini berubah, dengan bibir merah penuh, pipi merona, mata tajam berhias warna. Tia mengerling, menjilat bibir, menggoda Mang Enjup. Jemarinya membelai halus penis Mang Enjup. Mang Enjup sudah tak perlu lagi menggunakan ilmunya. Wajah Tia merambat dari dekat selangkangan Mang Enjup ke dada Mang Enjup, dan Tia mulai menjilat dan mengisap putting Mang Enjup.  Mang Enjup kemudian melihat wajah mesum Tia sudah berada tepat di depan wajahnya, bibir Tia bertemu bibirnya, dan lidahnya disedot Tia yang dengan ganas menciumnya.

Mana tahan Mang Enjup!  Benihnya yang sudah dari tadi berhasil ditahan meski menghadapi Febby dan Jana, langsung memaksa keluar.  Rangsangan dari Tia, tangan dan wajah dan aksi, memicu ejakulasi.

“Auhhh…” keluh Mang Enjup lirih, hasil terapi ejakulasi dini-nya langsung buyar seketika di tangan Tia, membuat cairan kental tersembur mengotori lantai di depan kursi.  Tia segera melepas ciumannya dan tersenyum sinis.

“Mang… Payah deh ah… Masa’ udah keluar…” kata Tia.

Mang Enjup yang masih terengah-engah sesudah keluar tanpa perlu memasukkan kemaluannya ke mana-mana itu masih mendapat hiburan berupa kesenangan kecil, dari kata-kata nakal Tia barusan.

Dia telah berhasil merusak Tia. Kini Tia pun menjadi satu lagi perempuan baik-baik yang dijadikannya binal. Laki-laki tua itu terengah-engah lelah.  Tapi puas.  Puas sekali.

“Belum juga masuk, mana enak… Tia bikin bangun lagi, ya, Mang?” kata Tia dengan suara menggoda.

Bunyi musik dance dari laptop Febby masih membahana, sehingga bagian dalam kantor itu seperti diskotik saja rasanya.  Tia kembali bergoyang seksi, kali ini dia menarik Febby yang dari tadi diam saja.  Febby mengerti dan keduanya pun menari sensual di depan Mang Enjup.  Benar-benar posisi Mang Enjup ibarat seorang raja zaman dulu, dirubung selir-selirnya, menikmati pertunjukan tari yang menawan hati di depan mata. Tapi kemaluannya kisut lemas sesudah dibuat muncrat Tia tadi. Tia memeluk Febby dalam posisi berhadapan, sambil menoleh ke arah Mang Enjup dan mengerling nakal.

“Mang, lihat nih,” kata Tia sambil menggerayangi Febby.

Sekretaris Mang Enjup itu mendesah-desah ketika Tia mencupang lehernya, menyibak rambut tebalnya.

“Ahh… uh… ah…” desah Tia seksi selagi tangannya mencengkeram rambut Febby dan memaksa si sekretaris menyedot dan mengenyot pentilnya.

Jana berkomentar, “Boleh juga nih!  Ikutan dong!  Ayo kita bikin Mang bangun lagi!”  dan langsung membuka kaitan bra-nya sambil menari-nari.  Dia ikut topless seperti Tia, sayang payudaranya sudah mulai turun dan berpentil gelap, tubuhnya memang mulai kalah dengan tubuh Tia dan Febby yang lebih muda.

Jana tidak mendekati Tia dan Febby yang bercumbu, malah dia mendekati Mang Enjup.

“Mang masih suka aku gini’in kan…” kata Jana yang kemudian berlutut di depan selangkangan Mang Enjup, kemudian mulai memasukkan kemaluan yang masih lemas itu ke dalam mulutnya.  Sebagaimana banyak perempuan di sekeliling hidup Mang Enjup, Jana juga dulu dirusak oleh Mang Enjup.  Namanya sekarang, Jana, adalah perubahan nama aslinya yang berarti cahaya di suatu tempat indah bagi manusia-manusia budiman kelak; Jana aslinya seorang gadis taat dari keluarga miskin dengan kampung halaman di pulau seberang, yang suatu hari datang membawa CV dan surat lamaran ke kantor Mang Enjup demi mendapat penghidupan lebih baik. Sayang, bibir sensualnya yang polos menarik perhatian laki-laki mesum berilmu gendam itu, sehingga, seperti kupu-kupu tersangkut jaring laba-laba, Jana pun terjerat. Menjelang akhir wawancara pertama, pakaiannya yang sopan telah bertebaran di lantai kantor, bagian-bagian tubuhnya yang biasa tak dia tunjukkan untuk sembarang orang sudah terungkap semua, dan bibir tebalnya yang polos namun sensual ternoda cairan kelelakian Mang Enjup.  Jana diterima bekerja di kantor Mang Enjup, dengan jabatan resmi sebagai asisten namun pekerjaan sebenarnya adalah menjadi salah satu wanita penghibur pelancar negosiasi.  Kehidupannya pun berubah, dia mulai memakai baju minim dan berdandan seksi sehingga memicu masalah dengan keluarganya yang konservatif.  Namun jiwanya sudah dicengkeram Mang Enjup sehingga dia malah memilih melupakan keluarganya.  Terjerumuslah Jana ke dunia hitam dan dia pun sepenuhnya berkecimpung di sana, sesudah cukup berpengalaman, dia mulai coba-coba mengajak gadis-gadis muda untuk mengikuti jejaknya melacur. Kini sudah sepuluh tahun sejak Jana pertama kali masuk ke kantor itu dengan harapan mendapat pekerjaan.

Jana terus mengisap, kepalanya maju-mundur sekujur kemaluan Mang Enjup yang masih tetap lemas, sambil matanya menatap penuh harap ke orang yang telah menggelapkan hidupnya.  Jana tak pernah merasa benci kepada Mang Enjup; bertahun-tahun sudah berlalu dan cengkeraman mental Mang Enjup sudah sirna, tapi Jana sendiri sudah pasrah dengan jalan hidupnya.  Kepala Jana makin terbenam ke selangkangan Mang Enjup, bibir dan lidahnya kini menggarap buah pelir laki-laki tua itu. Dulu sekali, Mang Enjup yang melihat indahnya bibir Jana memutuskan untuk membuat gadis itu menjadi ahli memuaskan laki-laki dengan bibirnya.  Jadi sepanjang Jana bekerja di bawah Mang Enjup, Mang Enjup sering menyuruh Jana menyervis dengan bibirnya, dan melatih Jana agar mau berbuat apa saja dengan bibir seksinya itu. Maka sekarang Jana mempraktikkan hal-hal yang diajarkan Mang Enjup kepadanya: dia menciumi dan menggigit-gigit lembut bagian pangkal paha Mang Enjup, mengulum dan menjilati biji, memuja seluruh selangkangan itu dengan bibirnya yang merah.  Mang Enjup mengerang keenakan, tangannya memegang belakang kepala Jana, memberi tanda kepada Jana untuk melanjutkan. Jana melanjutkan pelan-pelan, tahu bahwa Mang Enjup yang sudah tidak muda lagi itu tak akan cepat pulih.  Mukanya terbenam di antara dua sisi pangkal paha dan di bawah kemaluan Mang Enjup, lidahnya melejit menyusuri ke bawah, dari dasar kantong biji Mang Enjup terus ke bawah, menuju dubur laki-laki tua itu.  Ujung lidah Jana bergerak ke kanan-kiri dan menyapu lubang dubur Mang Enjup, kemudian naik lagi sampai menjilati bagian belakang buah pelir Mang Enjup.  Jana tak jijik sama sekali melakukan itu.  Selama beberapa menit Jana terus menggarap kemaluan, buah pelir, dan lubang dubur Mang Enjup. Tapi Jana sendiri terangsang berat dengan aksinya sendiri itu.  Lagi-lagi itu ajaran Mang Enjup; karena mau mengeksploitasi bibir Jana, maka dulu Mang Enjup menanamkan sugesti bahwa Jana bisa terangsang apabila dia sedang meng-oral laki-laki.  Mang Enjup sendiri merasa keenakan sampai-sampai dia tidak bisa berdiri, karena memang di antara kemaluan dan dubur ada titik sensitif yang berkali-kali dirangsang Jana, tapi kejantanannya belum juga bangun. Jana menoleh dan melihat Tia dan Febby sudah saling membugili.  Dia memanggil kedua perempuan yang lebih muda itu supaya tidak asyik sendiri.  Kemudian Jana menunjuk ke satu sofa di samping meja kerja Mang Enjup, yang bersandar ke tembok.

Febby dan Jana membantu Mang Enjup berdiri, dan laki-laki tua itu tertatih-tatih lemas dipapah dua perempuan cantik ke sofa.  Begitu Mang Enjup duduk lagi, Jana kembali berlutut di depannya, sementara Febby duduk di sebelahnya, menjulurkan tangan dan mengelus-elus kemaluan Mang Enjup yang masih juga ngadat.  Dengan Mang Enjup dikerubungi seperti itu, di mana posisi Tia?  Tia melangkah naik ke sofa, berdiri mengangkangi pangkuan Mang Enjup.

“Mang,” kata Tia, “lihat nih… memekku…”

Mang Enjup membelalak.  Dalam posisi seperti itu, bagian bawah perut Tia tepat berada di depannya, dan tangan Tia meraih ke bawah merentang vaginanya sampai bagian dalamnya yang berwarna pink dan basah terlihat.  Tia menjolokkan jarinya sendiri ke dalam, mengobel vaginanya sendiri.

“Ayo Mang… bikin Tia enak Mang… Jilatin memek Tia Mang…” pinta Tia.  Melihat Mang Enjup kewalahan karena bagian bawah tubuhnya diurusi Jana dan Febby, Tia berinisiatif sendiri, menyodorkan kewanitaannya langsung ke muka Mang Enjup sementara tubuhnya merapat ke tembok di belakang sofa.

“Haohhh!  Ayo jilatin Mang!  Terus Mang!” jerit Tia selagi lidah Mang Enjup memasuki vaginanya.

Tia mulai memain-mainkan payudaranya sendiri.  Sekali-sekali dia berseru,

“Terus jilatin,” dan “Entot Tia Mang” sementara nafasnya memburu.

Setelah dirangsang terus, kewanitaan Tia mulai mengeluarkan cairan sehingga bibir Mang Enjup pun basah belepotan, tapi Tia tak peduli, dia terus memaksakan memeknya mendesak muka orang yang dulu dihormatinya itu. Lama sekali ketiga perempuan itu berusaha membangkitkan kejantanan laki-laki yang telah merusak mereka.  Mungkin sampai setengah jam.  Jana merangsang di dekat anus, Febby mengocok serta menjilati batang penis, sementara Tia menyodorkan vaginanya untuk dilalap Mang Enjup.

“Sudah naik lagi nih!” teriak Febby girang sesudah dia melihat kemaluan Mang Enjup akhirnya keras lagi.

Di antara ketiga perempuan yang ada di sana, Febby-lah yang saat ini paling sering menjadi pasangan seks Mang Enjup, karena kedekatannya sebagai sekretaris. Aslinya Febby mulai bekerja di perusahaan itu di bagian lain, tapi suatu hari dia dipindah menjadi sekretaris Mang Enjup. Mang Enjup langsung mengacak-acak hidup Febby begitu gadis berkacamata berhidung mancung itu jadi bawahannya, sedikit demi sedikit: pertama, Febby dibuat tak lagi tertarik dengan pacarnya, sehingga pemuda malang itu akhirnya diputus oleh Febby. Kemudian Febby yang aslinya berpenampilan tomboy dipengaruhi sehingga berubah: dulu Febby berambut pendek dan biasa mengenakan celana panjang ke kantor, sekarang Febby memelihara rambutnya jadi panjang dan megar, dan dia selalu memakai rok mini dan sepatu hak tinggi.  Dan Mang Enjup juga membuat Febby jadi mudah cepat orgasme, karena Mang Enjup ingin sekretarisnya itu bisa puas biarpun disetubuhi hanya beberapa menit. Kalau Febby susah puas, bisa-bisa dia tidak setia dan mencari-cari kenikmatan dari orang lain. Sementara itu kemampuan kerja dan sikap dingin Febby tetap seperti semula.

Nah, seperti sudah dijelaskan, oleh Mang Enjup, Jana dibuat mudah terangsang apabila sedang melayani laki-laki dengan bibirnya, sementara Febby dijadikan cepat mendapat orgasme.  Keduanya sedari tadi tidak diam saja.  Febby sempat mengalami orgasme kecil ketika tadi digerayangi Tia, sementara Jana memainkan lidahnya di selangkangan Mang Enjup sambil bermasturbasi dan menuju klimaks. Sementara Tia tidak juga puas biarpun sudah memaksa Mang Enjup menjilati kemaluannya.

“Tia, Tia, kamu entot Mang, sekarang!”  pinta Mang Enjup.  Tia mengerti, dia langsung menurunkan tubuhnya menyambut tegak kembalinya kejantanan Mang Enjup.  Penis Mang Enjup yang sedang tegak itu diarahkan oleh Febby ke arah belahan vagina Tia.  Tia yang mengangkangi selangkangan Mang Enjup pelan-pelan menurunkan tubuh sehingga masuklah penis tua itu ke dalam belahan kewanitaannya yang basah. Tapi memang punya Mang Enjup tidak sebesar penis banyak orang yang pernah dicobanya.  Jadi “kurang berasa” untuk Tia. Ekspresi wajahnya tak berubah ketika dimasuki batang Mang Enjup. Jana ikut nimbrung, dia mengalihkan perhatian ke pantat Tia.  Ketika lidah Jana mulai menyapu belahan pantat Tia, Tia merinding. Tia mulai menaikturunkan tubuhnya, menjepit kejantanan Mang Enjup dengan vaginanya, sambil menciumi wajah Mang Enjup. Suara desahannya tak sebegitu intens, jelas karena dia masih belum puas dengan ukuran barang yang mempenetrasinya. Tapi ereksi yang diusahakan dengan susah payah sampai setengah jam itu tidak bertahan lama. Mang Enjup mengeluarkan suara mengeluh panjang dan berejakulasi di dalam vagina Tia, setelah hanya empat-lima kali digenjot Tia. Semprotan maninya cepat berhenti, dan kemaluannya cepat sekali melemas dan kisut. Umur tak bisa dibohongi, sang perusak wanita itu tak lagi jantan, tiga perempuan seksi merubungnya pun disia-siakan begitu saja.

“Heh?… Yaaah… Kok cepet lagi keluarnya?  Aaahhh…” Tia merajuk.

“Aduh… maafin Mang,” kata Mang Enjup yang lemas.

Tubuhnya yang tua itu terasa capek sekali; dua kali orgasme dalam waktu singkat sangat menguras tenaga.  Mata Mang Enjup jadi sayu, dan dia jadi merasa mengantuk.  Dan kepalanya terasa berkunang-kunang.  Tanpa dapat menahan, Mang Enjup tertidur…

“Haahhh… malah tidur… Iiihh… “ keluh Tia.  Febby merangkulnya dan membantunya turun dari pangkuan Mang Enjup.

“Sudah… Mbak Tia, biarin aja Bapak istirahat, jarang banget dia bisa ngecrot sehari dua kali dalam waktu berdekatan gitu. Sekarang Mbak Tia pulang aja ya?  Penjelasannya kan udah, Mbak Tia juga udah tahu apa yang harus dilakukan,” bujuk Febby.

Febby dan Jana mengajak Tia ke kamar mandi kecil di dalam kantor itu, lalu mereka bertiga membersihkan diri dengan shower, Tia mencuci vaginanya.  Cairan yang dikeluarkan Mang Enjup di dalam dirinya hanya sedikit.  Sesudahnya mereka mengeringkan diri dan berpakaian lagi. Ketika akan meninggalkan ruangan, Tia menengok ke Mang Enjup yang tertidur.  Kedua “selir”nya—Febby dan Jana—memakaikan kembali baju dan celana Mang Enjup.  Tia tersenyum melihat Mang Enjup yang menganga mulutnya dan ngorok ketika ketiduran di sofa, juga ketika melihat betapa perhatiannya Febby dan Jana kepada Mang Enjup.  Entah apa yang dipikirkan keduanya terhadap laki-laki tua yang telah mengubah hidup mereka itu.  Benci?  Dendam? Acuh? Atau malah sayang? Tia melangkah keluar dengan tak puas.  Sekali lagi dia melewati Danang yang duduk menumpangkan kaki di meja, dan kembali dia melirik genit ke arah Danang.  Sayangnya Danang terlalu pengecut untuk menanggapi ajakan Tia itu.  Padahal dia bisa saja jadi pelampiasan Tia yang tidak sempat dibikin puas oleh Mang Enjup.  Tapi karena Danang tidak berani berinisiatif, maka dia cuma bisa gigit jari. Tia pulang sambil mengingat-ingat penjelasan mengenai perannya dalam negosiasi tender mendatang.  Dia perlu menggunakan tubuhnya untuk meyakinkan Pak Walikota. Pesan itu, tanpa diucapkan jelas oleh Mang Enjup maupun Febby dan Jana, sudah tertanam di kepala Tia. Dan ketika Tia berbaring malam itu, tubuhnya yang belum terpuaskan membuat dia sulit tidur.  Besok dia akan menghadap Pak Walikota, dan dia berharap Pak Walikota tidak punya masalah ejakulasi dini seperti Mang Enjup…

TAMAT BAB 7.

No comments:

Post a Comment