Menjelang malam di rumah Tia.
Tia duduk sendirian di sofa, merangkul kedua lututnya sendiri sambil menundukkan kepala. Sudah hampir seminggu berlalu sejak insiden salah tangkap terhadap dirinya dan Citra yang menyebabkan mereka berdua terpaksa melayani sekelompok aparat. Tapi apa benar terpaksa? Itulah yang membuat Tia sudah tersiksa secara batin selama seminggu. Tia tak tega menceritakan kepada Bram apa yang terjadi di kantor aparat bersama Gde dan anak buahnya. Bukan cuma karena Gde mengancam akan membeberkan kejadian salah tangkap itu kalau Tia cerita ke siapa-siapa. Tapi lebih karena rasa bersalah Tia sendiri. Ia ingat bahwa malam itu, dia dengan sengaja dan sadar menyanggupi permintaan Gde untuk melayaninya layaknya suami-istri. Memang, saat itu dia tak pikir panjang karena ingin menyelamatkan Citra, tapi setelah semuanya selesai, barulah Tia menyadari bahwa yang diperbuatnya tetap tak pantas. Dia adalah istri Bram… hanya Bram yang berhak menikmati tubuhnya. Dia menyadari bahwa ada yang berubah dalam dirinya, dan beberapa minggu lalu dia khilaf ketika dalam suatu hari dia bermain api dengan si tukang sayur, Pak Kumis, dan dua pengamen, Janu dan Fi. Tia sudah bertekad akan menjaga kehormatannya sebagai istri, namun ternyata dia tak mampu menahan godaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri, mulai dari dorongan untuk menggoda para karyawan di kantor, berpenampilan seksi ketika di mall, bahkan ketika seharusnya dia bisa menjaga kehormatan waktu dipaksa Gde. Ya, Tia sedang merasa lemah dan bersalah kepada Bram. Tia juga takut rumahtangganya dengan Bram akan tergoncang kalau Bram tahu apa yang terjadi. Seminggu itu Tia tak banyak bicara, dan sering menangis. Bram bingung dibuatnya. Awal-awalnya, Bram berkali-kali berusaha menghibur Tia dengan berbagai cara, dari membelikan baju baru sampai mengajak makan di luar, tapi Tia tetap murung. Tia juga sudah seminggu tidak menanggapi ajakan Bram untuk berhubungan seks. Ada sedikit trauma yang hinggap dalam benak Tia; tiap kali Bram mendekatinya dan berusaha berintim-intim, misalnya dengan merangkul dan mencium, Tia selalu teringat kembali akan kasar dan brutalnya Gde serta anak buahnya. Jadilah dia selalu menolak dengan halus. Bram bisa merasakan istrinya sedang bermasalah, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa ketika Tia tidak merespon semua usahanya.
Telepon berdering. Tia menjawabnya.
“Halo…”
“Halo sayang,” rupanya Bram. Terdengar berisik melatarbelakangi suara Bram.
“Aku mesti pulang malam lagi hari ini,” kata Bram.
“Ya udah, aku tiduran di ruang tamu saja Mas, nunggu Mas Bram datang,” kata Tia dengan nada datar.
Percakapan itu berakhir tanpa emosi: Bram mengucapkan rasa sayang dan dijawab oleh Tia, seolah berbasa-basi. Di ujung lain jalur percakapan itu, Bram menutup hubungan telepon dan kembali ke apa yang sedang dilakukannya. Lagi-lagi dia berada di satu klub malam, bersama Mang Enjup, dua orang lagi anggota DPRD yang sedang mereka lobi untuk menggolkan proyek, berikut beberapa wanita penghibur berpakaian seksi yang merubung keempat laki-laki itu, berharap ikut kecipratan sedikit dari deal proyek yang pastinya bernilai sangat besar.
“Aya naon, Bram?” tanya Mang Enjup sambil merangkul salah satu pramuria.
“Tia, Mang…” keluh Bram. “Kayaknya dia ada masalah, tapi nggak mau cerita, udah seminggu dia nggak mau ngomong banyak.”
Mang Enjup tertarik mendengar nama Tia disebut. Sudah agak lama sejak terakhir kali dia bertemu Tia. Dan Mang Enjup belum lupa dengan niat busuknya terhadap Tia. Tentu saja, Mang Enjup tidak akan menunjukkan itu semua di depan Bram. Laki-laki tua cabul itu sudah sangat berpengalaman. Jadi dia hanya memberi saran.
“Bram,” kata Mang Enjup, “Gimana kalo si Tia disuruh ke psikolog aja? Siapa tau kalau ke orang yang ahli, Tia mau cerita. Sukur-sukur masalahnya bisa dibantu.” Mang Enjup merogoh kantongnya, membuka dompet, mencari-cari sesuatu di dalamnya, lalu akhirnya mengambil satu kartu nama putih dengan tulisan warna merah dan biru.
“Ini ada kenalan Mang. Psikolog ahli biarpun masih muda. Coba ajah kamu ajak Tia ketemu dia,” kata Mang Enjup.
Bram melihat nama yang tertulis di kartu itu. Dr. Lorencia Partomo, M.Psi. Spesialis Trauma Psikologis.
Mungkin bisa dicoba, pikir Bram. Dikantonginya kartu nama Dr. Lorencia.
*****
“Sayang… kamu mau dengar saranku nggak?” kata Bram pada pagi berikutnya, ketika sedang sarapan bersama Tia.
“Saran apa, Mas?” ujar Tia.
“Aku tahu ada yang ngganggu pikiran kamu… tapi kamu sepertinya nggak bisa cerita ke aku, atau Citra, atau keluarga kita. Iya kan?” Bram melanjutkan. “Sebenarnya aku pengen banget bisa bantu kamu langsung, apalagi aku kan suamimu, harusnya kita bisa beresin semua masalah kita sama-sama, yang.”
Tia meringis mendengar kata-kata ‘aku kan suamimu’, yang dirasa menohok, karena sangat berkaitan dengan dilema hatinya. Dia diam saja.
“Kalau kamu nggak bisa bicara dengan aku… Bagaimana kalau dengan yang profesional aja? Aku dikasih info tentang psikolog. Siapa tahu dia bisa bantu kamu.” Bram menunjukkan kartu nama Dr. Lorencia.
Tia memperhatikan kartu nama itu. Spesialis Trauma Psikologis. Dan perempuan. Orang ini profesional, jadi pasti akan menjaga rahasia. Dan dia juga tidak ada kepentingan, jadi semestinya Tia tak usah takut konsekuensi macam-macam, ketimbang kalau dia cerita ke suaminya sendiri. Mungkin bisa dicoba. Bram tahu-tahu sudah berada di samping Tia, merangkul dan membelai rambut Tia, lalu mengecup lembut pipi istrinya. Tia merinding, masih belum bisa menghilangkan trauma-nya.
“Kamu mau, kan?” bisik Bram mesra. “Aku pengen lihat kamu senyum lagi seperti biasa, nggak murung terus seperti ini. Kalau kamu mau, sekarang juga kita ke tempat dia. Dia praktek pagi. Aku bisa antar kamu ketemu dia sambil berangkat ke kantor.”
“Mas…” kata Tia sambil menoleh. Jawaban Tia disampaikan berupa anggukan kepala.
*****
Pagi itu, ketika berangkat bersama Bram, Tia belum bisa tersenyum lepas. Tapi siapa tahu orang yang akan ditemuinya bisa membantu. Tempat praktik Dr. Lorencia Partomo terletak di satu rumah mewah, agaknya rumah pribadi sang psikolog spesialis. Bram dan Tia masuk dan disambut asisten Dr. Lorencia.
“Sudah ada janji?” tanya si asisten.
“Ya, kemarin malam saya sudah buat janji jam 9,” kata Bram. “Atas nama Tia.”
“Oke. Sebentar ya Pak,” kata si asisten, yang lantas menggunakan interkom. “Bu Loren, yang perjanjian jam 9 sudah datang.”
“Suruh langsung masuk saja,” jawab suara di interkom.
Bram menengok ke Tia. “Kamu nggak apa-apa kan sendirian, yang?” tanyanya.
“Nggak apa-apa, Mas…” kata Tia pelan. “Nanti kutelepon kalau sudah selesai.”
“Oke, aku berangkat dulu ya,” kata Bram yang kemudian mengecup kening istrinya. wajah Tia tetap tanpa ekspresi.
Bram kemudian meninggalkan Tia dan berangkat ke kantor. Si asisten mengarahkan Tia menuju ke satu pintu besar, dan membukakan pintu itu. Tia masuk sendirian ke ruangan di belakangnya. Ruang praktik Dr. Lorencia terbilang besar dan mewah, dengan meja jati ukir yang terlihat mahal di tengah-tengah, beberapa kursi antik, dan satu sofa besar. Dindingnya tertutup kertas dinding berwarna kuning muda, dihias beberapa lukisan, antara lain satu lukisan pemandangan dan satu lukisan perempuan Bali yang bertelanjang dada. Terlihat juga beberapa pot tanaman dan rak buku. Lantai marmernya sebagian tertutup permadani empuk. Tia mencium semacam wewangian di dalam ruangan itu; baunya tidak biasa, tapi menenangkan. Di samping ruangan itu ada satu pintu tertutup. Di balik meja jati, di kursi putar yang besar dan nyaman, duduklah Dr. Lorencia Partomo. Dr. Lorencia memandangi perempuan yang baru masuk ke kantornya. Tia yang bertubuh sintal, tidak terlalu pendek maupun tinggi, berumur dua puluhan pertengahan, dengan rambut panjang yang digerai dan wajah cantik dipoles make-up tipis (sejak shock, Tia tidak lagi berdandan tebal seperti sebelumnya). Wajah Tia terlihat tak santai, bibirnya tak sekalipun tersenyum.
Tia memandangi Dr. Lorencia dan tidak bisa tidak mengagumi sang spesialis. Dr. Lorencia adalah perempuan yang sangat cantik, mengenakan kacamata berbingkai warna emas, kira-kira beberapa tahun lebih tua daripada Tia, mungkin seumuran Citra. Rambut tebal Dr. Lorencia yang diwarnai pirang gelap seperti madu dikepang dan dijadikan sanggul besar di belakang kepala. Wajahnya berkesan tegas dan kuat, sedangkan tubuhnya yang agak montok namun tetap seksi itu terbungkus blazer, kemeja, dan celana panjang putih yang membuatnya kelihatan profesional—tapi Tia bisa melihat kemeja yang dikenakan Dr. Lorencia terbuka sedikit di bagian dada, dan dalaman hitam berenda yang dipakai di bawah kemeja itu terlihat menyelip, memberikan kesan seksi yang misterius. Tia bergerak ke arah kursi di depan meja Dr. Lorencia. Dr. Lorencia berdiri dan menjabat tangan Tia sambil memperkenalkan diri.
“Ibu Tia, kan? Atau boleh kupanggil Tia saja? Panggil saja aku Loren,” katanya.
“Nggak apa-apa nih?” tanya Tia malu-malu. “Apa nggak sebaiknya Bu Loren atau Mbak Loren…”
“Jangan, jangan. Loren aja. Biar kita bisa lebih akrab,” kata Dr. Lorencia—Loren—dengan ramah.
Tia merasakan tatapan mata Loren yang amat tajam dan kata-katanya yang berirama. Sekilas Tia terpikir tentang seseorang, tapi dia tidak bisa mengingat siapa yang tingkahlakunya mirip dengan Loren.
“Silakan duduk,” kata Loren. “Jadi…”
Tia diam saja, tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.
“Masih bingung kenapa ketemu saya?” ujar Loren. “Nggak apa-apa. Suamimu sudah cerita sedikit tentang keadaan kamu. Dia rasa kamu ada masalah yang nggak bisa kamu ceritakan ke dia, betul kan?”
“Nggg…” Tia ragu-ragu untuk menjawab. Dia belum tahu apa yang diceritakan Bram ke si psikolog.
“Nggak usah ragu-ragu. Aku juga sebenarnya belum tahu kok apa masalahnya. Tapi kalau Tia mau cerita, mungkin bisa kubantu bereskan masalah itu. Dan apapun yang diceritakan di ruang ini, nggak akan keluar. Kode etik. Rahasia pasien harus dijaga,” Loren menjelaskan. “Gimana?”
Tia terus menatap wajah Loren yang cantik dan terlihat menenangkan itu. Pelan-pelan, Tia mulai merasa bisa percaya dengan si psikolog. Loren berdiri dari kursinya dan berjalan ke samping Tia. Si psikolog lalu menepuk bahu Tia.
“Tia, kita pindah tempat ya? Coba kamu tiduran di sofa itu. Kalau kamu santai, kamu bisa cerita dengan lebih enak,” bisik Loren.
Ketika bahunya ditepuk, Tia merasa pikirannya kosong. Mirip ketika waktu itu…
“Ya…” Tia mengiyakan saran Loren, lalu berdiri dan menuju sofa besar di sebelah meja Loren. Loren berjalan di sampingnya. Di sebelah sofa itu ada kursi. Loren duduk di kursi itu sementara Tia berbaring di sofa.
“Oke…” kata Loren. “Sekarang kamu kosongkan pikiran. Posisimu sudah enak belum? Kalau belum, cari posisi yang enak. Anggap aja sedang tiduran di ranjang sendiri. Santai saja. Santai… Jangan mikir apa-apa dulu. Apapun masalah Tia, lupakan saja dulu. Nikmati aja dulu posisi seperti ini, tenang, hening, damai…”
Tia mulai nyaman mendengarkan sugesti dari Loren. Dia bisa melemaskan otot-otot bahu dan punggungnya, mengendorkan ketegangan pikirannya, hanya dengan berbaring di sofa besar itu dan mendengarkan kata-kata Loren. Si psikolog duduk di sampingnya, dengan posisi menghadap dirinya. Tangan Loren menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia. Suasana damai, sofa empuk, gerakan teratur yang dipandu Loren, suara Loren yang lembut, serta wangi ruangan yang tak biasa tapi menyenangkan itu semuanya membuat Tia merasa aman. Dan mengantuk.
“Bagaimana, Tia? Sudah merasa santai? Nyaman? Rileks? Sekarang…”
Mendadak Loren menarik tangan Tia dengan gerakan menyentak.
“Tidur!”
Sontak mata Tia terpejam dan kepalanya terkulai. Tia tertidur atas perintah Loren, tapi sebenarnya itu bukan tidur. Loren terus menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia.
“Tia, Tia… bisa dengar kata-kataku? Kalau bisa dengar, tolong buka mata.”
Mata Tia terbuka kembali. Tatapannya kosong.
“Bagus. Sekarang dengar semua kata-kataku. Kalau ngerti, tolong kedipkan mata.”
Tia berkedip. Loren tersenyum. Tia sudah berada dalam keadaan hipnotik.
“Tia. Mulai sekarang, kalau kamu bicara denganku, kamu tidak akan ragu-ragu bercerita. Kamu ngerti? Kalau ngerti tolong bilang ‘Ya’,” kata Loren.
“Ya,” jawab Tia.
“Bagus. Kamu akan jawab semua yang kutanya tanpa kecuali, biarpun kamu selama ini malu untuk menceritakannya. Ngerti? Kalau ngerti bilang ya,” Loren meneruskan sugesti.
Tanpa dapat melawan, kembali Tia menjawab ‘ya’.
“Bagus, Tia. Satu lagi. Semua saran yang akan kamu dengar dariku, akan selalu kamu ingat, bahkan kalau kamu belum setuju. Ngerti? Kalau ngerti bilang ya.”
Lagi-lagi, “Ya.”
“Terima kasih Tia. Sesi terapi kita sekarang bisa dimulai dengan lancar. Sesudah ini kamu akan tidur sebentar, dan lupa kamu pernah mendengar kata-kata tadi dariku, tapi kamu tidak akan lupa apa-apa yang tadi sudah disampaikan. Begitu aku tepuk tangan sekali, kamu akan tidur lagi, lalu sesudah aku tepuk tangan dua kali, kamu akan bangun lagi seperti biasa.”
Loren bertepuk tangan satu kali. Tia terpejam dan kepalanya terkulai. Lalu Loren bertepuk tangan dua kali dan Tia terbangun. Ketika terbangun Tia bingung.
“Em… tadi aku… ketiduran?” kata Tia.
“Itu tidak penting, anggap biasa saja,” kata Loren, dan berkat pengaruh sugesti barusan, kebingungan Tia langsung hilang. “Nah… Tia, silakan ceritakan masalahmu.”
Tia sudah merasa nyaman berbaring di kantor Dr. Lorencia. Dia merasa sangat percaya kepada si psikolog yang cantik itu. Dia tak lagi ragu untuk berbicara. Entah kenapa. Mulailah Tia bercerita.
“Aku bingung, Ren… Aku ngerasa sedang berubah,” kata Tia lirih.
“Berubah? Jadi apa?” balas Loren.
“Jadi…” Tia masih sulit mengatakannya. “Jadi…”
“Jangan ragu, Tia… Kamu bisa cerita apa saja ke aku… Nggak apa-apa,” kata Loren dengan nada suara sugestif.
“Jadi…”
“Bilang aja, Tia, jangan takut…” kata Loren sambil mengusap rambut Tia seolah ibu yang menenangkan anaknya.
“Jadi perempuan nggak bener…” nada bicara Tia berubah berat seolah dia tak rela menyebut dirinya sendiri dengan istilah demikian. “Jadi seperti… pelacur.”
“Oohh,” Loren menanggapi. Suaranya bernada tertarik. “Kenapa seperti itu, ya? Coba ceritakan, Tia.”
“Ungh…” Tia ragu-ragu. Loren kembali membelai rambut Tia dan berkata perlahan, “Jangan ragu-ragu, Tia, kamu bisa percaya aku. Ceritakan…”
Sentuhan dan ucapan Loren membuat Tia makin nyaman. Tia akhirnya mulai bercerita.
“Awalnya waktu aku nemu foto-foto… perempuan lain di HP Mas Bram. Pelacur. Suamiku itu ternyata punya hobi jajan di luar. Tapi…”
“Stop,” Loren menghentikan cerita Tia. “Seperti apa foto-fotonya? Jelaskan.”
“Emm… mungkin ada 2 atau 3 cewek yang berbeda. Di foto-foto itu mereka berpose… seksi.”
“Seperti apa?”
“Ada yang seperti mau nyium kamera… ada yang pamer buah dadanya… ada yang tiduran sambil pake lingerie…”
“Ceritakan penampilan mereka,” Loren melanjutkan.
“Ya seperti biasanya perempuan nggak bener… Baju seksi, tank top, rok mini, malah ada yang difoto cuma pakai bra dan celana dalam… Ada yang rambutnya dicat pirang… Semuanya pake make-up tebal, bedak tebal, lipstik merah, blush on…”
“Oke. Sekarang teruskan cerita kamu. Sesudah kamu lihat foto-foto itu, gimana?”
“Aku ngadu ke Kak Citra,” kemudian Tia menceritakan siapa itu Citra. “Kata Kak Citra, Bram emang suka jajan dari dulu. Terus… Kak Citra ngasih saran… katanya aku suruh tiru saja penampilan mereka supaya Bram nggak usah lagi nyari ke luar.”
Sementara Tia bercerita, Loren terus memandanginya sambil membelai rambutnya dan sesekali mengeluarkan komentar pendek seperti “Hmm” atau “Terus?”
“Jadi aku coba sarannya Kak Citra. Dia dandani aku supaya jadi… seperti mereka. Terus kutemui Mas Bram…” Tia berhenti.
“Terus?” Loren mendorong Tia untuk melanjutkan. “Ayo dong cerita.”
Sepintas Tia tersenyum kecil, mukanya memerah. Tapi kemudian mukanya kembali ke ekspresi kosong semula.
“Yang jelas malam itu sih kami… bercinta… nggak seperti biasanya, emmm rasanya lebih… hebat aja dari sebelumnya,” bisik Tia lirih. “Tapi Mas Bram juga waktu itu seperti berubah… kelihatan sekali dia lebih nafsu.”
“Oke…” kata Loren, “Jadi awalnya begitu. Terus?”
“Mas Bram minta aku terus seperti itu… jadi kucoba saja terus. Awalnya risi dan nggak biasa, mesti dandan terus dan bergenit-genit, dari dulu aku nggak pernah begitu. Tapi…” Tia mencoba mengingat sesuatu, tapi yang ingin diingatnya tak kunjung muncul. “Ada satu malam, waktu itu aku dandan seksi untuk Mas Bram, dan dia pulang diantar teman-teman kantornya karena mabuk… nggak ingat apa yang terjadi sesudah itu, tapi rasanya dia semangat sekali bercinta malam itu biarpun mabuk. Nah…”
“Ayo teruskan.”
“Rasanya sesudah malam itu aku berubah… aku jadi lebih terbiasa tampil seksi, nggak lagi malu-malu… Tapi…”
“Ada apa?”
“Kadang aku seperti lepas kendali,” suara Tia kembali melemah setelah sebelumnya naik karena bersemangat. “Aku… aku nggak tahu harus cerita atau nggak… aku…”
“Ayo cerita, Tia… Kalau kamu nggak cerita, masalahmu nggak akan selesai…” bujuk Loren.
“Pernah dalam satu hari aku nggoda beberapa orang sekaligus… dan mereka orang asing… bukan Mas Bram. Tukang sayur langganan. Pengamen yang datang ke rumah.”
“Waah…” Loren berkomentar. “Apa yang kamu lakukan ke mereka?”
“Umh…” Tia ragu, mukanya memerah. “Aku… kalau ke Pak Kumis itu nggak sengaja… waktu itu aku beli terong dari dia, terus…”
“Terus?”
“Umm… aku main-main dengan terong itu… Nggak tahunya Pak Kumis masuk rumah mergoki aku… tapi aku malah jadi… jadi…”
“Kamu apain dia, Tia?”
“…kusepong dia…”
“Hmm…” Loren berkomentar tanpa kaget, tapi tetap terdengar tertarik. “Terus dengan pengamen tadi? Gimana tuh?”
“Pengamennya berdua, masih ABG… salah satunya aku kenal. Jadi kuajak masuk dan kukasih makan… tapi satunya usil, dia nyolek bokongku…”
“Terus? Kamu marah nggak?”
“Ungh… anehnya… enggak. Akhirnya malah kuladenin mereka berdua… yang satu kuisep… yang satu lagi kubiarkan gesek-gesek kemaluannya ke pantatku sampai dia keluar…”
“Oke… Tapi kamu nggak sampai berhubungan seks dengan mereka kan?”
“Iya… syukurnya…” kata Tia.
“Kenapa syukurnya?” tanya Loren.
“Soalnya waktu itu aku seperti ingat… aku istrinya Mas Bram. Aku cuma boleh setubuh sama Mas Bram…”
“Oh gitu. Ceritamu masih lanjut kan Tia?”
“…masih.”
“Tolong lanjutkan.”
“Sesudahnya… suatu hari aku ke kantor bareng Mas Bram. Aku sengaja dandan dan pakai baju biasa. Tapi… aku tetap dilihat orang. Semua orang nengok kalau aku lewat.”
“Gimana perasaan kamu, Tia, waktu diperhatikan orang kantor?”
“…kok… aku seperti senang, ya?”
“Wajar, Tia,” kata Loren. “Kamu cantik.”
“Aku… cantik?” Pujian Loren membuat Tia tersipu. Memang seperti biasanya perempuan, Tia senang dipuji, apalagi mengenai kecantikannya.
“Iya…” Loren kembali membelai rambut Tia, dan kini malah terus membelai pipi Tia. “Kamu cantik… makanya semua orang suka melihat kamu. Semua orang itu. Orang kantor. Pengamen. Tukang sayur. …Aku juga, Tia…”
Tia berdebar-debar ketika Loren berkata seperti itu. “Aku pengen cium kamu, Tia,” pinta Loren. Tanpa menunggu jawaban, Loren langsung mencium pipi Tia, tepat di ujung bibir Tia. Tia merasa geli seperti kesemutan, dan perasaan itu makin menjadi ketika Loren melanjutkan melumat bibir Tia, memainkan lidahnya dalam mulut Tia. Untuk pertama kalinya Tia merasakan ciuman mesra dengan sesama perempuan, mulut bertemu mulut. Loren melepas bibir Tia, kemudian kembali bicara.
“Kamu senang kan dikagumi orang, Tia?” kata Loren.
“…Iya…” jawab Tia. Loren tersenyum, sugestinya masuk sendiri tanpa dilawan. Dilihatnya mata Tia setengah terpejam, membayangkan nikmatnya ciuman barusan.
“Terusin ceritamu,” kata Loren.
“Sesudah dari kantor aku ketemu Kak Citra di mall… Kak Citra cantik banget… dia juga dilihatin semua orang… Malah lebih hebat lagi, orang sampai meleng karena gak bisa lepas matanya dari Kak Citra. Aku… iri.”
“Hmm… Iri? Iri karena Kak Citra lebih cantik?”
“Iri karena Kak Citra lebih menarik perhatian… tapi sesudah itu aku di-makeover, terus ganti baju juga…”
“Terus gimana? Kamu masih iri?”
“Terus… kami… Kami…” Tia seperti susah menceritakan lanjutannya. Jelas itu karena yang terjadi adalah dia dan Citra diciduk aparat, lalu digilir. Bukan sesuatu yang bisa diceritakan dengan mudah, bahkan di bawah pengaruh hipnotis Loren. Jadi Loren menaikkan tingkat pengaruhnya.
“Susah ya ceritanya?” kata Loren sambil tangannya mulai hinggap di tubuh Tia. Loren mulai menyentuh dan meremas-remas payudara Tia. Tia pagi itu mengenakan kemeja merah jambu dan rok hitam selutut. Sementara tangan kanan Loren mencopot satu dua kancing kemeja Tia, tangan kiri Loren menyelinap ke dalam rok Tia. Loren kemudian menyelipkan tangan kanannya ke dalam baju Tia, dan langsung menyentuh kulit payudara Tia. Dia mencari-cari dan menemukan pentil Tia yang sudah terasa keras. Sementara tangan kiri Loren mulai meraba-raba daerah kemaluan Tia. Loren menemukan sesuatu di sana.
“Hmmm… Tia, kamu ngerasa basah nggak?” bisik Loren.
“Iya…” kata Tia jujur.
“Basah mananya, Tia?” Loren mendorong lagi.
“Basah di…” Tia berhenti, lalu berbisik, “…aku malu nyebut nya…”
“Memek kamu basah, Tia,” kata Loren tegas sambil mencubit klitoris Tia, membuat Tia memekik lirih, “Aauhh!!”
“Enak kan, Tia?” tanya Loren.
“Enak Ren…” jawab Tia.
“Tahu nggak kenapa itu enak?”
“…”
“Soalnya kamu terangsang sewaktu kamu cerita pengalaman seks kamu, Tia… Mulai sekarang, kamu bakal terangsang kalau kamu cerita… Ngerti, Tia?”
“Iya… ahhh…”
“Bagus. Kamu mau cerita semuanya kan, Tia?”
“Iya…”
No comments:
Post a Comment